Sabtu, 28 Februari 2009

Anak Shaleh

Katalog Anak Shaleh Dalam Al- Qur'an :

dikutip dari : Buku Pintar, memahami Al- Qur'an secara tematik, Ir. Aris gunawan Hasyim, Pesantren Terbuka Nur Al- Qur'an, hal. 82-83

1. Jika Allah menghendaki, walaupun orang tuanya sesat/ kafir, namun anaknya menjadi anak yang shaleh ( Nabi Ibrahim as ), lihat Qs. Al- Hadid (57) : 26

2. Jika Allah menghendaki maka anaknya akan dijadikan batu ujian bagi orang tuanya; seperti anaknya Nabi Nuh as. lihat Qs. At- Taghobun (64) : 14-15

3. Secara umum anak akan menurun seperti orang tuanya. bila orang tuanya jahat maka anaknyapun akan jahat. lihat Qs. Nuh (71) : 26-27

4. Anak shaleh ditentukan oleh bibitnya/ keadaan orang tuanya :

     - warisan do'a orang tua dan nenek moyangnya, Qs.25: 74, 14:40

     - memilih pasangan hidupnya, yang seiman, Qs.2: 221, 24:26, 4:22-24, 60:10, 3:118-120, 

        24:3

     - berdo'a memohon anak yang shaleh, Qs.37:100, 3:38, 21:89-90, 19:4-6

     - berdo'a ketika mendatangi istri agar anaknya dijauhkan dari syethan 

     - berdo'a dikala mengandung

................ bersambung ....

Jumat, 13 Februari 2009

Homescooling

Mulai Homeschooling
Anda tertarik dengan homeschooling? Anda mempertimbangkan untuk menerapkan homeschooling bagi putera-puteri Anda? Apa yang harus dilakukan? Informasi mengenai apa yang sebaiknya diketahui?
1. Homeschooling itu LEGAL
Homeschooling adalah salah satu model belajar bagi anak-anak. Homeschooling bukan berarti tidak belajar. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar anak dan cara anak untuk mempersiapkan masa depannya.
Di dalam sistem pendidikan Indonesia, keberadaan homeschooling adalah legal. Keberadaan homeschooling memiliki dasar hukum yang jelas di dalam UUD 1945 maupun di dalam UU no 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah disebut jalur pendidikan formal, homeschooling disebut jalur pendidikan informal. Siswa homeschooling dapat memiliki ijazah sebagaimana siswa sekolah dan dapat melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi manapun jika menghendakinya.
Lebih rinci mengenai dasar hukum dan ujian kesetaraan.
 
2. Apa alasan Anda memilih Homeschooling?
Banyak alasan orang tua memilih homeschooling. Secara general, alasan utama orang memilih homeschooling adalah tidak puas dengan model sekolah umum dan ingin memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak. Selain itu, ada yang melakukan homeschooling karena ada kebutuhan khusus pada anak; misalnya autis, anak-fokus, berbakat, dsb. 
Identifikasi alasan Anda sendiri untuk memilih homeschooling agar Anda dapat menentukan solusi yang tepat untuk model homeschooling Anda. Identifikasi juga kendala atau concern Anda mengenai homeschooling untuk Anda cari jawabannya. Pertanyaan yang sering muncul diantaranya: apakah saya bisa, kami orang tua yang bekerja, saya tidak pandai, saya tidak sabaran, apakah saya harus mengajar sendiri semuanya? 
Jika Anda memang ingin melakukan homeschooling, ujilah seberapa jauh komitmen Anda terhadap homeschooling putera-puteri Anda. Bagaimana Anda menempatkan homeschooling dalam prioritas pribadi dan keluarga Anda? Berapa banyak waktu Anda yang dapat Anda sediakan untuk homeschooling? 
Homeschooling adalah sebuah proses yang dapat dilakukan oleh orang tua manapun yang mencintai dan berdedikasi pada puteri-puterinya. Apapun latar belakang pendidikan atau pekerjaan Anda, tidak menghalangi Anda untuk melakukan homeschooling. Yang diperlukan adalah komitmen, kesediaan belajar, dan bekerja keras. Homeschooling memang bukan sebuah hal yang mudah, tetapi homeschooling dapat dijalankan karena sudah jutaan orang tua yang mempraktekkannya. 
It works and it’s worthed. Kerja keras Anda akan membuahkan hasil membahagiakan ketika anak Anda tumbuh dengan gembira dan keluarga Anda berkembang bersama dengan berkualitas.
Kerja keras Anda akan membuahkan hasil membahagiakan ketika anak Anda tumbuh dengan gembira dan keluarga Anda berkembang bersama dengan berkualitas. 
Kerja keras Anda akan membuahkan hasil membahagiakan ketika anak Anda tumbuh dengan gembira dan keluarga Anda berkembang bersama dengan berkualitas. 
Beberapa contoh praktek homeschooling di Indonesia dapat dibaca di sini. 
3. Cari informasi sebanyak-banyaknya.
Cari informasi untuk menjawab pertanyaan dan concern pribadi Anda.
Di Internet tersedia banyak sekali informasi mengenai homeschooling di seluruh. Carilah menggunakan Yahoo! dengan kata kunci "homeschooling", maka Anda akan mendapatkan banyak sekali link mengenai homeschooling di berbagai penjuru dunia. Untuk informasi mengenai homeschooling di Indonesia, Anda dapat membaca milis Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif). Atau cari di Yahoo! dengan kata kunci "homeschooling Indonesia". Dari waktu ke waktu semakin banyak informasi dan websites mengenai praktek homeschooling di Indonesia.
Selain itu, bacalah artikel atau buku-buku mengenai homeschooling. Salah satu buku yang sangat membantu kami memahami homeschooling adalah "The Complete Idiot Book to Homeschooling". Buku itu menjelaskan mengenai homeschooling dengan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dimengerti.
Hadirilah seminar homeschooling dan berbincanglah dengan orang tua yang sudah mempraktekkan homeschooling bagi putera-puterinya. Seperti yang Anda ketahui, setiap keluarga menjalankan homeschooling dengan cara yang berbeda-beda. Dengan banyak belajar dan menyimak, Anda akan mendapatkan perbandingan untuk rancangan homeschooling yang sesuai bagi putera-puteri Anda dan keadaan keluarga Anda. 
Selama Anda mencari informasi, pastikan semua pertanyaan dan concern Anda terjawab. Mungkin sebagian informasi yang Anda butuhkan ada sini.
 
4. Memilih metoda Homeschooling
Banyak metoda pendidikan yang dapat diterapkan untuk homeschooling. Pilihlah yang sesuai dengan gaya anak-anak Anda belajar.
Metode homeschooling sangat beragam: mulai yang sangat tidak terstruktur (unschooling) hingga yang sangat terstruktur (school at-home). Unschooling adalah membiarkan anak-anak belajar apa saja sesuai minatnya dan orang tua tinggal memfasilitasinya. School at-home adalah model belajar seperti sekolah reguler, dengan menggunakan buku pegangan seperti sekolah, hanya saja belajarnya di rumah.
Diantara dua metode itu ada banyak sekali metode belajar yang dapat diterapkan dalam homeschooling, misalnya: montessori, waldorf, unit studies, …
Secara ringkas, Anda dapat membacanya di sini. Atau, kunjungi situs-situs metode belajar yang ingin Anda ketahui.
 
5. Memilih Kurikulum dan Materi Ajar
Departemen Pendidikan Nasional RI telah mengembangkan kurikulum yang dapat Anda download dengan cuma-cuma di sini. Jika Anda ingin mengikuti ujian kesetaraan, perhatikan kurikulum itu untuk mengetahui sasaran pendidikan yang harus dicapai putera-puteri Anda.
Jika Anda ingin menggunakan kurikulum lain selain yang dikembangkan Depdiknas, itu adalah hak Anda sepenuhnya untuk memberikan yang terbaik bagi putera-puteri Anda. Pada umumnya, orang tua homeschooling memilih dan menggabungkan bermacam kurikulum sesuai dengan kebutuhannya. Di luar negeri, tersedia banyak kurikulum yang dapat Anda download secara gratis. Lebih jauh lihat di sini.
Untuk bahan ajar, Anda dapat menggunakan materi yang sudah Anda miliki, dari toko buku, atau hasil kreativitas Anda. Ide-ide materi pengajaran juga tersedia sangat berlimpah di Internet dan dapat Anda peroleh secara gratis maupun berbayar. Beberapa contoh bahan pengajaran yang dapat Anda peroleh secara gratis dapat Anda lihat di sini.
 
6. Bentuk Komunitas Pendukung
Salah satu prinsip homeschooling adalah memanfaatkan segala sumber daya yang ada di sekitar kita (belajar apa saja, di mana saja, bersama siapa saja, kapan saja). Salah satu sumber daya yang harus kita manfaatkan adalah keluarga. Sebarkan rencana Anda mengenai homeschooling pada orang tua, mertua, dan keluarga terdekat sehingga mereka tidak menjadi perintang, tetapi justru menjadi pendukung dan sumber belajar (resource person) bagi putera-puteri Anda.
Jika ada Komunitas Homeschooling di sekitar Anda, bergabunglah agar Anda dapat bertukar pengalaman dan saling berbagi materi belajar yang dimiliki. Jika di sekitar Anda masih belum ada Komunitas Homeschooling, jadikan diri Anda sebagai pionir bagi homeschooler di sekitar Anda. Semakin banyak teman untuk saling berkaca dan semakin banyak pengalaman untuk berbagi, semakin mudah homescholing dijalankan. 
Beberapa Komunitas homeschooling dan contoh praktek homeschooling ada di sini. 
 
7. Just start it
Jika Anda sudah mantap menempuh homeschooling, mulailah mempraktekkannya untuk putera-puteri Anda. Jangan menunggu segala sesuatu sempurna dan ideal. Yang terpenting adalah memulainya dan Anda memang berkomitmen menjalankannya. 
Ketika mempraktekkan sebuah metode tertentu untuk putera-puteri Anda, jangan mudah menyerah kalau metode itu tak bekerja baik bagi Anda dan putera-puteri Anda. Ingatlah bahwa setiap anak dilahirkan spesial, mereka mempunyai kelebihan & kekurangan masing-masing. Kakak beradik saja seringkali memiliki sifat dan gaya belajar yang berbeda.
Lenturkan diri Anda sampai Anda menemukan metode yang paling sesuai. Jangan merasa enggan untuk berubah atau mencoba, karena homeschooling memberikan fleksibilitas bagi Anda untuk menemukan dan memilih hal-hal yang paling sesuai bagi putera-puteri Anda dan Anda sendiri. Itulah asyiknya homeschooling.
Tulisan ini tentu saja tidak lengkap dan sempurna. Walaupun begitu, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi Anda. Selamat menjalankan homeschooling; hari-hari yang indah dan tumbuh bersama putera-puteri Anda dengan bahagia!
Mana yang lebih baik antara homeschooling dan sekolah reguler? 
Pengertian Homeschooling 

Written by Administrator  
Sunday, 17 September 2006 
Semua sistem pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Satu sistem sesuai untuk kondisi tertentu dan sistem yang lain lebih sesuai untuk kondisi yang berbeda. Daripada mencari sistem yang super, lebih baik mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan kondisi kita.
Sistem pendidikan anak melalui sekolah memang umum dan sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun lamanya. Saat ini, pendidikan melalui sekolah menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat.
Tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Sekolah hanyalah salah satu cara bagi anak untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Sebagai sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna. Itulah sebabnya, selalu ada peluang pembaruan untuk memperbaiki sistem pendidikan; baik di level filosofi, insitusi, approach, dan sebagainya.
Sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk mengantarkan anak-anak pada masa depannya, orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus pilihan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Homeschooling menjadi alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua; memiliki kelebihan dan kekurangan inheren di dalam sistemnya. 
Tugas kita sebagai orang tua adalah memastikan bahwa kita telah memberikan yang maksimal untuk anak-anak kita, dengan segala batasan (constraint) yang kita miliki.


Kelebihan dan Kekurangan HS 

Pengertian Homeschooling 

Written by Administrator  
Sunday, 17 September 2006 
 
Kelebihan homeschooling:
• - Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.
• - Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum.
• - Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
• - Lebih siap untuk terjun di dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya.
• - Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, drug, konsumerisme, pornografi, mencontek, dsb).
• - Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur (vertical socialization).
• - Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua
Kekurangan homeschooling:
• - Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua
• - Sosialisasi seumur (peer-group socialization) relatif rendah. Anak relatif tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen secara sosial.
• - Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan.
• - Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.



Masa depan anak homeschooling? 

Pengertian Homeschooling 

Written by Administrator  
Saturday, 16 September 2006 
Bagaimana masa depan dan profesi anak-anak homeschooling?
Pintu masuk untuk memasuki sebuah profesi adalah keahlian (expertise) dalam bidang tertentu. Dalam sistem yang umum, salah satu tanda keahlian ditandai dengan ijazah/sertifikat dari sebuah jenjang pendidikan tertentu. Selain ijazah, ukuran sebuah keahlian yang lain adalah hasil karya (output) yang dihasilkan.
Jika ijazah dari Perguruan Tinggi yang menjadi kebutuhan, praktisi homeschooling dapat mengikuti ujian kesetaraan (Paket A, B, C) dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi seperti pendikan reguler pada umumnya. 
Jika sertifikat yang menjadi pintu profesi, praktisi homeschooling dapat mengikuti kursus dan program sertifikasi yang banyak diselenggarakan oleh asosiasi profesi atau perusahaan swasta tertentu. Banyak profesi di bidang komputer, bahasa, seni, dan keahlian-keahlian lain yang dapat berawal dari standar sertifikasi profesi tertentu.
Selain dua pintu profesi di atas, semakin banyak profesi-profesi yang berkembang berdasarkan output. Perusahaan swasta pun semakin menghargai "portofolio karya/kemampuan" daripada sekedar ijazah. Sebagian besar profesi-profesi berdasarkan karya/kemampuan adalah profesi di dunia modern. Profesi-profesi berorientasi output itu semakin luas dan memiliki masa depan yang cerah misalnya: bisnis, komputer, marketing, fotografi, entertainment, tulis-menulis, desain, dan sebagainya.
Pada akhirnya, yang dinilai adalah output. Homeschooling memiliki potensi besar untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian anak-anak karena sifat pendidikan homeschooling yang customized dan didesain khusus memenuhi kebutuhan anak.



Apa persamaan dan perbedaan homeschooling dengan sekolah reguler? 

Pengertian Homeschooling 

Written by Administrator  
Saturday, 16 September 2006 
Persamaan:
• Sekolah dan homeschooling merupakan model pendidikan anak.
• Sekolah dan homeschooling bertujuan untuk mencari kebaikan bagi anak-anak.
• Sama-sama dapat mengantarkan anak-anak pada tujuan pendidikan. 
Perbedaan:
Sistem di sekolah terstandardisasi, sistem di homeschooling customized sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga
Pengelolaan di sekolah terpusat (kurikulumnya diatur), pengelolaan homeschooling tergantung orang tua (orang tua memilih sendiri kurikulum dan materi ajar untuk anak)
Jadwal belajar di sekolah telah tertentu, jadwal belajar homeschooling fleksibel tergantung kesepakatan orang tua-anak.
• Tanggung jawab pendidikan sekolah didelegasikan orang tua kepada guru dan sekolah, pada homeschooling tanggung jawab sepenuhnya ada di orang tua.
• Di sekolah, peran orang tua relatif minimal karena pendidikan dijalankan oleh sistem dan guru; pada homeschooling peran orang tua sangat vital dan menentukan keberhasilan pendidikan anak.
• Pada model belajar di sekolah, sistem sudah mapan dan orang tua tinggal memilih/mengikuti; homeschooling membutuhkan komitmen dan kreativitas orang tua untuk mendesain dan melaksanakan homeschooling sesuai kebutuhan anak.



Apa itu Homeschooling? 

Pengertian Homeschooling 

Written by Administrator  
Saturday, 16 September 2006 
Homeschooling (HS) adalah model alternatif belajar selain di sekolah. Tak ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling. Selain homeschooling, ada istilah "home education", atau "home-based learning" yang digunakan untuk maksud yang kurang lebih sama. 
Dalam bahasa Indonesia, ada yang menggunakan istilah "sekolah rumah". Aku sendiri secara pribadi lebih suka mengartikan homeschooling dengan istilah "sekolah mandiri". Tapi nama bukanlah sebuah isu. Disebut apapun, yang penting adalah esensinya.
Salah satu pengertian umum homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah. 
Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama homeschooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada proses magang (internship), dan sebagainya.
Sesuai namanya, proses homeschooling memang berpusat di rumah. Tetapi, proses homeschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orang tua homeschooling dapat menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya



Thursday, 10 May 2007 
Kakak Beradik Raih Gelar Profesor di Usia Muda
Gagah Wijoseno - detikcom

New York - Prestasi kakak beradik Angela dan Diana Kniazeva bakal membuat iri setiap orang yang mendengarnya. Bayangkan saja, di usia 19 tahun (Diana) dan 21 tahun (Angela), akan mendapat gelar profesor.

Gadis kelahiran Rusia itu akan mendapat gelarnya pada bulan September mendatang, dari Universitas Rochester. Kakak beradik Kniazeva mengambil gelar master jurusan kebijakan internasional di Universitas Stanford, California. Sementara itu, tiap hari Rabu mereka mengambil gelar doktoral di Universitas Bisnis Stern, New York.

Kedua saudara ini menolak dikatakan jenius. "Kami kira karena kami diberi kesempatan yang sangat berharga, dan kami beruntung," kata mereka seperti yang dilansir AFP, Kamis (10/5/2007).

Mereka dididik di rumah oleh orangtuanya. Lulus tingkat SMA pada usia 10 dan 11 tahun. Pada usia 13 dan 14 tahun, mereka lulus kuliah.
Mengajarsiswa yang lebih tua bukan masalah bagi mereka. "Kami pikir itu halkecil. Saya masih muda daripada siswa kami tidak mempengaruhi apa yangkami ajarkan atau bagaimana kami mengajar," kata mereka.(gah/gah)
 
(Sumber: www.detik.com, 2007-05-10 01:39:00)


Membangkitkan Minat Belajar 
Liputan Media 

Written by Administrator  
Wednesday, 21 February 2007 
(Sumber: Koran SINDO, 21 Februari 2007)  
Menumbuhkan minat belajar anak sebetulnya tidak terlalu sulit.Kenali apa yang disukai dan ajak dia melakukan hal tersebut.Niscaya minat belajar pun meningkat. 
KUNCINYA adalah mengetahui apa yang dapat membuat anak tertarik dan ingin belajar. Bagi anak usia delapan tahun ke bawah,belajar harus berangkat dari minat si anak itu sendiri. 
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Indonesia Dhanang Sasongko berpendapat, sifat dasar anak adalah senang belajar.Itu bisa terlihat sejak usia dini.Dimulai dari anak belajar berjalan,dia jatuh dan bangkit lagi atas kemauan sendiri. Sayangnya,lanjut dia,ketika anak menginjak usia empat tahunan, banyak terjadi intervensi orang dewasa, dalam hal ini orangtua. 
Dengan begitu minat belajar anak sesungguhnya itu menjadi terintervensi. Anak belajar karena kewajiban dan dorongan dari orangtua. ”Akhirnya dia menjadi tertekan,” kata Dhanang. Prinsip dasar belajar anakanak haruslah menyenangkan. Karena dengan belajar menyenangkan akan menumbuhkan emosional yang positif. Dalam proses belajar,anak harus diposisikan sebagai subjek dan bukan objek. 
Sebaiknya anak belajar atas inisiatif diri sendiri. Bila dalam proses belajar, si anak menjadi objek,maka yang banyak melakukan intervensi adalah pendidik.Si anak dijadikan robot dan terlalu banyak diarahkan oleh pendidik. Hasilnya akan membuat anak menjadi malas belajar, belajar tidak efektif. Dalam sistem belajar, anak harus ikut terlibat dalam proses pembelajaran. 
Salah satu caranya mungkin sebaiknya dalam satu kelas jangan sampai terlalu banyak siswa. Problem yang akan terjadi akan ada anak-anak yang merasa tidak diperhatikan. Dengan begitu minat belajarnya karena keterpaksaan. Solusinya, guru dituntut punya kompetensi dengan kondisi- kondisi yang terjadi sekarang ini.Guru perlu memahami bahwa anak didiknya adalah subjek.”Secara psikologi,guruguru juga harus memahami keanekaragaman minat belajar anak,”ujar Dhanang. 
Dia menyarankan, dalam proses belajar perlu dikembangkan metode pelajaran tematik yang aplikatif.Ada pembahasan- pembahasan atas sebuah masalah. Misalkan soal banjir,mungkin saja dari pembahasan itu muncul ide-ide yang luar biasa dan cemerlang dari anak. Atau dalam pelajaran mengenai stek tumbuhan, anak-anak bisa diajak untuk mempraktikkan langsung di lapangan. 
Kalaupun tidak bisa melakukan kegiatan praktik di luar ruang,bisa saja dengan cara menyajikan sejumlah materi tematik dan contohnya via media visual di dalam kelas. Sebagai contoh, Dhanang menunjukkan apa yang sudah dilakukan di sekolah-sekolah alam.Ternyata anak-anak lebih mudah menyerap pelajaran dengan baik dan menyenangkan. 
”Belajar tidak hanya teori. Teori dibutuhkan dalam rangka mengejar standardisasi kurikulum. Tapi untuk mencapai tujuan- tujuan itu, perlu ada media belajarnya yang menyenangkan bagi anak,”kata Dhanang. Sementara itu,Marlina,guru sekolah rumah di Perumahan Bumi Sawangan Indah Depok, mengaku punya trik jitu dalam mengajak anak agar tertarik belajar. 
Sebelum mulai mengajar, terlebih dulu dia harus mengetahui hal-hal apa saja yang disukainya dan tidak disukai. ”Nah,dari situ bila ada anak yang sedang malas belajar,saya mengajak dia melakukan suatu kegiatan yang disukainya,” katanya. Misalnya anak suka menggambar, sebelum mengajak si anak belajar,terlebih dulu dia diajak menggambar beberapa saat. Selanjutnya, setelah mood belajarnya bangkit. Barulah si anak diajak belajar lagi.
Reward Yes, Punishment No 
SEBISA mungkin orangtua memberikan reward atau penghargaan kepada anak atas berbagai prestasi yang dilakukan. Sebaliknya sedapat mungkin menghindari bentuk punishment atau hukuman.Sebab,hukuman yang kelewat batas akan membuat harga diri anak down atau turun. 
”Jenjang pendidikan anak masih jauh dan panjang, hasil sebuah proses belajar tidak bisa diukur oleh satu hari,satu minggu atau satu bulan.Tapi merupakan proses berkelanjutan. Untuk itu orangtua perlu memberikan reward dan dorongan,”kata Dhanang Sasongko, sekjen Asah Pena Indonesia. 
Menurut dia, dasar untuk mendorong minat belajar anak,kita perlu meningkatkan rasa percaya diri anak.Sebagai contoh: bila anak mendapat nilai matematika jelek, 4, orangtua dapat mendorongnya dengan mengatakan: ”Oh iya putri dapat nilai 4 ya.Tidak apaapa dulu ayah juga pernah kok dapat nilai 4 tapi setelah mencoba memperbaikinya, ternyata ayah bisa berhasil dapat angka 8.” Seorang anak tidak mungkin dapat menguasai semua mata pelajaran. 
Mungkin ada anak yang unggul di satu pelajaran, tapi lemah di pelajaran lainnya. Kalau dia kurang di salah satu pelajaran kenapa harus dipaksakan. Sebab, kecerdasan seorang anak tidak sama dengan kecerdasan sebagaimana diinginkan orangtua.Jadi, indikator untuk menilai buruk atau baik itu spektrumnya sangat luas. 
”Tidak bisa kita mengatakan karena matematikanya jelek lantas dikatakan anak itu tidak pintar. Sebetulnya, dia punya kecerdasan lainnya yang mungkin saja belum tergali,” katanya. Ada kalanya orangtua kurang tepat mengasah kecerdasan anak. Contohnya, anak lemah di satu pelajaran, tapi dia unggul di satu pelajaran lain. Kemudian orangtua justru memberikan anak les di pelajaran yang lemah tadi. 
Sedangkan pelajaran yang unggul justru dilupakan. Menurut Dhanang, ditinjau dari sudut perkembangan anak, apa yang dilakukan orangtua tadi agak keliru.Kenapa bukan keunggulan si anak tadi yang diasah dan dikembangkan terus. Nah,yang kurang itu hanya sebagai pelengkap. ”Jangan sebaliknya malah yang kurang didorong terus dan dipaksakan sehingga anak menjadi tertekan. Akhirnya, anak menjadi stres dan keunggulannya pun akhirnya hilang,” ujarnya. 
Mengenai bentuk reward yang kerap diberikan orangtua ketika anaknya berhasil dalam pelajaran sekolah, Dhanang berpendapat, hal itu boleh-boleh saja sejauh dalam rangka menunjang kegiatan belajar si anak. Namun, dia mengingatkan, sebisa mungkin nilainya tidak terlalu mahal dan terkesan wah bagi si anak. Ini dimaksudkan agar anak punya standar keinginan atas reward-nya. 
”Reward diberikan hanya dalam rangka memotivasi anak,” tegasnya. Hal terpenting adalah memberikan kasih sayang kepada anak.Terkadang anak berbuat baik, orangtua tidak memberikan reward karena hal itu dianggap biasa saja, tapi manakala si anak berbuat tidak baik, maka orangtua memberikan reaksi luar biasa dengan memberikan punishment. Dhanang mengatakan,orangtua mesti mengubah paradigma terhadap anaknya.Bahwa anak berbuat baik itu bukanlah hal yang biasa, tapi merupakan suatu hal yang luar biasa.
Desain Ruang Belajar Efektif 
KEPALA SDN Pondok Kelapa 03 Pagi Dra Faida Delta menjelaskan, minat belajar masingmasing anak berbeda-beda.”Selanjutnya,sekolah perlu mengandalkan sumber daya manusia (SDM)-nya, dalam hal ini guru-guru dan juga alat bantu peraga serta alat bantu pelajaran sesuai perkembangan teknologi,”katanya. 
Sebagai contoh, alat bantu pelajaran menggunakan media visual lewat tayangan VCD.Pertimbangan belajar menggunakan alat ini,didasarkan pada motivasi anak belajar, ada anak yang apabila pandangannya melihat suatu objek tertentu dia baru bersemangat tinggi.Terutama materi pelajaran yang dapat disajikan lewat media tadi, si anak dapat langsung menyaksikan lewat layar TV. Ada juga ada anak-anak yang minat belajarnya bangkit bila melihat dan sambil mendengar. 
Di sini dituntut kemampuan guru untuk mengolah motivasi belajar anak tadi. Biasanya ini berkaitan dengan pelajaran bahasa. ”Untuk itulah dipersiapkan alat-alat untuk belajarnya seperti buku-buku,gambar-gambar yang menarik dan alat pelajaran lain.Kemudian diperlukan kepandaian guru dalam menyampaikan pelajaran dengan berdialog,” papar pemenang lomba Teachers Writing Contest Du Pont 2006 ini. 
Di samping dua model motivasi anak belajar di atas tadi,ada lagi anak yang baru tertarik belajar apabila dia sudah melihat,mendengar,dan merasakannya. Bagi anak semacam itu diperlukan adanya praktik.Terutama pada pelajaran yang membutuhkan praktik langsung seperti pelajaran kesenian dan olahraga. Termasuk juga pelajaran IPA dan matematika. 
”Selain mempertimbangkan motivasi belajar anak, pihak sekolah pun perlu mendesain ruang belajar atau kelas semenarik mungkin. Dengan begitu anak merasa nyaman dan senang belajar di ruang tersebut,”ujar Faida. Kalau sekolah konvensional zaman dulu menerapkan desain ruang belajar dengan menempatkan bangku dan meja berjajar menghadap ke depan kelas.Kini di sekolah SDN Pondok Kelapa 03 Pagi sudah mendesain ulang ruang belajarnya, yakni dengan menempatkan kursi dan meja berbentuk letter U. Di tengah ruangan yang kosong diletakkan karpet dan beberapa bantal. 
Maksud desain tersebut adalah supaya semua anak dapat mengikuti pelajaran dengan menyenangkan. Dengan begitu kalaupun ada anak yang enggan belajar sambil duduk di kursi, dia bisa turun dan duduk, jongkok maupun tidur-tiduran di karpet tadi. ”Model desain ini disesuaikan dengan konsep belajar yang baik adalah disesuaikan dengan minat anak,” imbuhnya. 
Faida mengaku, setelah sekolahnya menerapkan desain ruang belajar seperti tadi, ternyata keberhasilan pembelajaran di kelas menjadi lebih tinggi bila dibandingkan sebelumnya, saat masih desain konvensional. Hal ini karena desain ruang belajar model lama, membuat guru menjadi lebih aktif dan mendominasi kegiatan belajar. Sementara anak-anak diam mendengarkan guru bicara. 
Dengan model seperti tadi,hasil pembelajarannya kurang maksimal.Paling anak-anak hanya mampu menyerap 70% pelajaran yang diberikan. Tapi dengan menerapkan ruang belajar desain letter U tadi ternyata mampu mendongkrak daya serap pembelajaran anak sampai 90% lebih. Lebih jauh dia menjelaskan, sebetulnya sumber belajar sekarang bukan lagi hanya berasal dari guru melainkan juga dari kawan-kawannya. 
”Kalau ada kawannya pintar dan bisa menjadi nomor satu di kelas,maka dia bisa mentransfer pengetahuan tadi kepada kawan-kawan lainnya. Dia menjadi tutor sebaya.Posisi guru hanya sebagai fasilitator saja,”paparnya.(nuriwan trihendrawan) 

Kompas: Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku 
Liputan Media 

Written by Administrator  
Monday, 25 September 2006 
(Sumber: Artikel Kompas, Minggu 13 Maret 2006)
MENDAPATKAN pendidikan yang baik untuk anak adalah keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan beragam nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya.
Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat dengan ruangan ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.
Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan.
Namun, semua kritik itu seperti angin, berlalu begitu saja. Tidak ada perubahan berarti. Sebagian orangtua lalu mencari alternatif pendidikan. Salah satunya dengan bersekolah di rumah (homeschooling).
"Saya termasuk orangtua yang tidak puas dengan sistem pendidikan kita. Sudah berapa banyak sekolah yang saya datangi, hingga yang internasional, ternyata tidak memuaskan juga. Akhirnya saya putuskan untuk mengajar sendiri anak-anak saya," kata Wanti Wowor (39), ibu empat anak.
Wanti memiliki banyak alasan memutuskan mengeluarkan anak-anak dari sekolah umum. Pertama, dia merasa sistem pendidikan di sekolah hanya mengejar nilai rapor. Sedangkan keterampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak (atau orangtua) mencontek dan membeli ijazah palsu.
"Anak pertama saya, Fini, memerlukan waktu sedikit lebih lama dibandingkan Fina, adiknya, untuk memahami sebuah persoalan. Hal ini bukan berarti Fini tidak pandai, tetapi dia memerlukan waktu atau cara lain untuk mengerti hal baru. Ini yang sering tidak dipahami guru. Guru tidak sempat memberi perhatian kepada murid satu per satu karena yang jadi tanggung jawabnya banyak sekali," ungkap Wanti menjelaskan.
Kedua, dalam hal pergaulan banyak murid yang mencari identitas dari teman, bukan pada diri sendiri. "Banyak murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama dengan temannya agar diterima pergaulan, atau biar dibilang keren oleh teman. Ini kan tidak benar. Identitas kok ditentukan teman, bukan diri sendiri. Ini baru barang, bagaimana dengan narkoba," ujar Wanti.
Dia juga melihat orang belajar karena kebiasaan masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri. Misalnya, sehabis SD harus dilanjutkan SMP, lalu SMA, terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari kelebihan anaknya, namun anak tetap harus menempuh semua jenjang pendidikan formal. Sedangkan eksplorasi pada kelebihan anak agak diabaikan karena memandang pendidikan formal lebih penting. Akibatnya, anak tidak merasa senang bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di sekolah.
Joseph Tjoandi (46), ayah empat anak yang juga menyekolahkan anaknya di rumah, merasa prihatin ketika melihat anaknya setiap hari pulang membawa kertas ulangan. "Anak saya belajar terus karena akan ulangan. Belajar itu harus sesuatu yang menyenangkan, bukan beban karena besok ulangan. Anak saya tampak tertekan karena setiap hari ulangan bisa lebih dari dua, masih ditambah PR seabrek-abrek. Hidup seperti tidak menyenangkan bagi dia," kata Joseph yang semula sempat ragu karena memiliki empat anak dan si bungsu masih bayi.
Sempat juga terpikir oleh Wanti mengirim anaknya bersekolah di luar negeri. Namun, dia khawatir jika anak berusia dini dikirim ke luar negeri, jati dirinya sebagai orang Indonesia tidak tumbuh. Dia tidak akan mengenal dan bisa jadi tak mau kembali ke Indonesia.
Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah.
"Bersekolah di rumah banyak dilakukan di AS (Amerika Serikat). Di sana juga sudah tersedia kurikulum untuk itu. Kebetulan saya mempunyai banyak teman di AS yang membantu mengirimkan silabus dan buku-bukunya," kata Wanti yang mengaku gemar mengajar.
Walau banyak tahu tentang bersekolah di rumah, Wanti perlu dua tahun untuk mempersiapkan diri. Dia juga harus siap menghadapi keluarga yang tentu menentangnya. "Saya sampai dikatakan gila oleh suami saya. Katanya, saya mempertaruhkan masa depan anak-anak," kenang Wanti.
Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar.
Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. "Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah," kata Helen yang mulai mulai mengajar anak di rumah tahun 2000.
Bukan hal mudah bagi Helen ketika mengajak anaknya bersekolah di rumah. Putra pertamanya, Joey Ongko (14), menolak keluar dari sekolah karena dia takut kehilangan teman-temannya. Helen harus menjawab tiga pertanyaan yang dikeluarkan Joey agar dia mau bergabung.
"Pertanyaannya adalah bagaimana Mama bisa tahan mengajar kami kalau selama ini baru belajar dua jam saja Mama sudah marah-marah. Kedua, jika Mama-Papa mengajar kami, siapa yang mencari uang? Ketiga, kalau ada apa-apa dengan Mama-Papa, siapa yang akan mengajar kami?" tutur Helen menirukan pertanyaan anaknya.
"Pertanyaan yang sulit. Saya sampai minta ditunda satu hari untuk menjawab itu. Lalu, saya katakan padanya, justru dengan bersekolah di rumah Mama mempersiapkan kamu dan adik-adik untuk mandiri. Jika suatu ketika Mama-Papa tidak ada, kalian sudah tahu apa yang harus dikerjakan, lebih mandiri. Mendengar jawaban itu, dia menerima. Setelah mengajar sendiri di rumah, ternyata saya jadi lebih sabar," ungkap Helen.
PERTAMA kali menjalani bersekolah di rumah, Helen tidak merasa kesulitan. Dia ajak ketiga anaknya membaca biografi Abraham Lincoln, lalu mereka berdiskusi dengan topik mengapa Abraham Lincoln bisa menjadi orang hebat. "Dari sana mereka lihat, untuk menjadi orang hebat dia harus menjadi orang yang jujur dan turun ke bawah membela kepentingan orang lain. Selesai satu buku, kami membaca buku yang lain," cerita Helen yang bekerja sebagai pengacara.
Untuk pelajaran matematika, semula anak-anaknya tidak tertarik. Helen mencari akal dengan bermain perang-perangan yang memang disukai anaknya. Dalam perang, untuk bisa menang jumlah tentaranya harus banyak. Kalau bisa, lebih banyak dari musuh. Untuk tahu apakah tentaranya sudah banyak atau belum, dia mesti menghitung. Dari permainan ini anak-anaknya bisa mengerti tujuan belajar matematika.
Wanti, karena telah melihat praktik bersekolah di rumah ketika berada di AS, mempunyai materi yang siap pakai. Dia datangkan kurikulum dan buku-buku dari AS yang memang ditujukan untuk belajar mandiri di rumah. Kemudian, dia ubah sebuah kamar menjadi ruang kelas.
"Saya duduk di tengah, lalu dua anak di samping kiri, dan dua anak lagi di samping kanan. Buku-buku yang menunjang pelajaran saya letakkan di rak dinding. Buku-buku itu dipakai untuk membedah sebuah masalah, lalu kami diskusikan bersama. Mereka juga bisa membuka internet untuk mencari bahan yang diperlukan," kata Wanti.
Pelajaran yang diberikan adalah matematika, bahasa Inggris, sejarah dunia, sains, dan budi pekerti. Untuk matematika dan bahasa Inggris, Wanti mengajar anak satu per satu. Sedangkan untuk pelajaran lainnya digabungkan bersama. "Saya ambil maksimum. Untuk anak bungsu, saya biarkan sampai seberapa jauh dia bisa menangkap," kata Wanti yang menetapkan pukul 08.00 sampai 12.00 merupakan jam sekolah. Di luar jam itu, anak bebas mau melakukan apa saja. Mereka bisa ikut berbagai kursus, di mana mereka bisa bertemu teman sebaya.
Namun, tetap saja sebagian besar waktu dihabiskan bersama anggota keluarga. "Walaupun belajar, kami sangat santai dan bergembira karena suasananya tanpa tekanan. Hubungan keluarga pun semakin akrab," kata Wanti.
Istri Joseph, Lilies Tjoandi, menambahkan, dengan bersekolah di rumah dia bisa mengetahui kekuatan masing-masing anak. "Setiap anak itu berbeda, kita tidak bisa menyamaratakan mereka seperti yang dilakukan sekolah umum. Dengan terjun sendiri, kita tahu bagaimana mereka sebenarnya," ungkap Lilies.
Dengan bersekolah di rumah, para orangtua juga mempunyai waktu yang fleksibel. Mereka tidak akan pindah ke topik lain jika anak-anak belum menguasai. Setelah anak-anak siap, baru mereka mengajukan diri untuk ujian. Dari pengalaman mengajar di rumah, menurut Wanti, waktu belajar anak justru lebih pendek dibandingkan sekolah umum. "Umur 16 tahun anak-anak saya sudah selesai SMA," ujarnya.
Dalam mengerjakan bahan ujian, menurut Wanti kejujuran orangtua sangat diuji. Apakah dia mau membiarkan anak mengerjakan sendiri atau dibantu. "Apakah dia masih mengejar nilai bagus, atau mengajarkan kejujuran pada anak," kata dia menegaskan.
Kertas ujian itu lalu dikirim kembali ke AS untuk dinilai, dan mendapat sertifikat sehingga murid bisa melanjutkan ke jenjang berikut. Sertifikat ini diakui di Indonesia sebagai lulusan dari luar negeri. Anak-anak Wanti, Fini dan Fina, sekarang duduk pada tingkat perguruan tinggi. Fini melanjutkan sekolah desain mode di Esmod Jakarta, sedangkan Fina memilih Universitas Indonesia program Internasional.
Kedua anak Wanti lainnya, Timothy (15) dan Lea (14), menjalani sistem belajar campuran, separuh di rumah, separuh lagi di Morning Star Academy (MSA), sekolah yang mendukung program bersekolah di rumah. Semua orangtua murid terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini. Bahkan, 90 persen guru MSA adalah orangtua murid.
BERSEKOLAH di rumah memang belum umum di Indonesia. Fini mengaku bosan setiap kali ditanya sekolah di mana. "Ketika saya jawab homeschooling, mereka bingung. Apa tuh? Saya harus menjelaskan terus. Dulu agak terbeban, tetapi sekarang sudah biasa," ujar Fini.
Dia mengaku sangat berterima kasih ibunya mengambil keputusan itu karena Fini merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya.
"Setidaknya saya selalu mengumpulkan tugas-tugas sebelum waktu yang ditetapkan. Sedangkan teman-teman selalu SKS-sistem kebut semalam-dalam mengerjakan tugas. Mereka juga tidak berani bicara, berdiskusi di kelas. Jangankan itu, bertanya saja mereka tidak berani dan sering menyuruh saya bertanya ke dosen. Buat saya, ini aneh karena saya dididik untuk disiplin dan berani mengemukakan pendapat," kata Fini.
Sementara itu, pengamat pendidikan Dr Arief Rachman MpD mengatakan, materi bersekolah di rumah sebenarnya tidak ada bedanya dengan pendidikan di sekolah. Namun penyampaiannya yang berbeda, karena di rumah memakai pendekatan yang lebih personal. Bersekolah di rumah mengembalikan konsep dasar pendidikan, yakni pada keluarga, bukan pihak lain seperti sekolah. Anak menjadi mandiri dan hubungan dengan keluarganya harmonis.
Tetapi, bersekolah di rumah juga memerlukan tanggung jawab dan komitmen tinggi dari orangtua. Sekali terjun, mereka tidak bisa mundur karena sudah merasakan enaknya dekat dengan anak-anak. (Sarie Febriane/m Clara Wresti)



Homeschooling Nia Ramadhani 
Liputan Media 

Written by Administrator  
Wednesday, 01 November 2006 
Hari Minggu (29/10/2006) siang, RCTI menampilkan tayangan infotainment SILET Edisi khusus membahas mengenai fenomena homeschooling di kalangan artis. Salah satu yang menjadi narasumber adalah artis Nia Ramadhani yang baru saja memutuskan homeschooling sebagai jalur pendidikannya.
Homeschooling adalah fenomena baru di kalangan pendidikan anak di Indonesia. Walaupun homeschooling sebenarnya tidak sama sekali baru karena sudah sejak bertahun-tahun lalu sebagian orang tua memilih homeschooling bagi pendidikan anak-anaknya, saat ini homeschooling sedang menemukan momentumnya, terutama dari aspek publisitas.
Salah satu pemicu publisitas itu adalah mulai tumbuhnya kecenderungan sebagian orang tua untuk menjadikan homeschooling sebagai pilihan pendidikan. Apalagi, ada sejumlah figur publik yang juga menempuhnya seperti Kak Seto yang dikenal sebagai tokoh pendidikan anak yang melakukan homeschooling pada ke-3 orang putrinya. Selain, itu ada artis-artis seperti Dominique (model) dan Nia Ramadhani (artis sinetron) yang turut meramaikan percakapan mengenai homeschooling dengan pilihannya. Disamping kedua orang itu, ada artis Dewi Hughes yang juga giat mempromosikan homeschooling dan aktif sebagai salah seorang pengurus ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang mewadahi para praktisi homeschooling.
Harian Republika dan Kompas pernah memuat artikel mengenai fenomena homeschooling ini. Harian Republika memuat artikel berjudul “Bersekolah Belajar di Rumah” sementara harian Kompas memuat artikel berjudul “Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku”. Kehadiran seorang homeschooler (yang berhasil masuk 3 besar) dalam reality show “The Scholar” yang pernah ditayangkan di MetroTV juga menjadi publisitas tersendiri bagi homeschooling. 
Homeschooling memang sedang naik daun di mana-mana. Di Amerika Serikat, pada tahun 1996 saja terdapat lebih dari 1.2 juta anak homeschooler dengan pertumbuhan sekitar 15% setiap tahunnya. Fenomena ini sedang terjadi di mana-mana karena banyaknya orang tua yang tidak puas dengan model sekolah yang ada pada saat ini.
Sebagai sebuah istilah umum, homescholing adalah fenomena belajar tidak di sekolah formal (konvensional). Tetapi secara bentuk, homeschooling memiliki keragaman yang luar biasa karena ide homeschooling adalah proses customisasi (sebagai antitesa standardisasi) dan individualisasi (antitesa penyeragaman) pendidikan anak. Bentuk-bentuk homeschooling berada dalam rentang yang lebar antara school-at-home (sekolah tapi di rumah) hingga unschooling. Sebagian besar berada di antara kedua rentang tersebut.
Di Internet, banyak sekali situs yang menyajikan informasi mengenai homeschooling dan bahan-bahan pendidikan secara gratis. Anda dapat memulainya dengan mencari di search engine dengan kata kunci: “homeschooling “keluarga homeschooling”, ”, “homeschooling Indonesia”, dan sebagainya. Jika Anda ingin mengetahui riset mengenai homeschooling, Anda dapat memulainya di situs National Home Education Research Institute (NHERI) yang merupakan lembaga independen di Amerika Serikat yang melakukan riset mengenai homeschooling.
Selamat datang di dunia homeschooling.


 


Sex On Valentine

Sex on Valentine
( afwan sumbernya ana lupa )


“Only You The One that I Love The Most in The Whole World”. Tulisan yang berisi ungkapan rasa cinta model gini gampang kita temuin di bulan Februari. Yup, bulan Februari jadi istimewa dan penuh cinta lantaran kehadiran Valentine’s Day (VD) yang jatuh pada tanggal 14-nya. Nggak heran kalo jutaan remaja di seluruh dunia tak sabar menantinya. Lantaran VD menjadi hari dimana mereka bebas nunjukkin kasih sayangnya pada pacar alias kekasih gelapnya. Nah lho, sephia dong? Ya iyalah, soalnya kan kebanyakan mereka belon pada merit alias nikah. Hubungan resmi laki-perempuan kan melalui ikatan pernikahan, bukan pacaran. Betul?
Bagi para pelaku bisnis, VD berarti momen penting untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari penjualan produk dan pernak-pernik Valentine. Lantaran menjelang VD, daya beli masyarakat terutama remaja mendadak dangdut, eh meningkat drastis. Remaja berlomba-lomba berburu kado spesial yang unik dan menarik agar perayaan VD ngasih kesan yang mendalam bagi pasangannya. Ada buket bunga mawar nan cantik, coklat dalam kotak berbentuk hati, perhiasan, CD lagu romantis, permen, kartu Valentine, hingga sepasang sendal jepit!
Nggak cuma pernak-pernik, perayaan VD juga dilengkapi dengan acara bernuansa pesta pora bin hura-hura yang bikin remaja terlena. Mulai dari acara yang romantis abis hingga yang berbau erotis yang pastinya nggak pake gratis. Ada konser musik dari para musisi idola yang melantunkan lagu-lagu melankolis, pesta pribadi yang mendatangkan penari striptease, atau acara arisan teman kencan yang berujung pada perilaku seks bebas. Ih najis! Padahal nggak semuanya tahu asal-usul VD. Kebanyakan mungkin cuma ikut-ikutan tren aza. Jangan-jangan, VD cuma mitos yang digede-gedein dan dianggap istimewa. Bisa jadi kan?

VD, hari kasih sayang?
The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day. Sebagian memahaminya sebagai Perayaan Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity).Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Sementara The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian nggak jelas siapa “St. Valentine” yang dimaksud. Malah kisahnya juga nggak ketahuan ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda. (idem).
Sobat, dari sejarahnya aja udah keliatan kalo Valentine’s Day nggak jelas asal-usulnya alias banyak versi yang nggak pasti. Cuma akal-akalan doang yang dipake untuk menyebarkan agama kristiani termasuk budaya dan tradisi Barat. Nggak heran kalo kini makna VD kian tulalit. Lebih ke arah kebebasan yang kebablasan untuk nunjukkin kasih sayang kepada pasangan yang dicintainya, khususnya kalangan remaja. Bahaya tuh!

Sex on Valentine’s Day
Menjelang hari Valentine, banyak remaja sibuk nyari kado spesial sebagai tanda cinta bagi sang kekasihnya. Di balik kegembiraan anak muda merayakan VD ternyata tersembunyi bahaya besar yang mengintai para aktivisnya. Mulai dari penularan HIV/AIDS hingga kehamilan tak dikehendaki. Waduh!
Ini dikemukakan oleh dr Andik Wijaya SMSH, seorang Seksolog dari Surabaya. “Sekarang Valentine’s Day nuansanya cenderung romantis dan erotis,” tutur dr Andik. Ini bukan omong kosong lho. Salah satu faktor yang mensukseskan erotisme saat perayaan Valentine adalah makanan khas Valentine`s Day berupa coklat. Emang kenapa dengan coklat? Menurut dr Andik, coklat mengandung zat yang disebut Phenyletilamine atau zat yang bisa membangkitkan gairah seksual. Nah lho. Ternyata eh ternyata…
Bukti lain, lanjutnya, pergeseran makna Valentine‘s Day, di Inggris 14 Februari malah dicanangkan sebagai The National Impotence Day (hari impoten nasional) dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman impotensi 2 juta pria Inggris. Sedang di AS lebih parah lagi. 14 Februari ditetapkan sebagai The National Condom Week (pekan kondom nasional). “Maksudnya kampanye nasional penggunaan kondom, karena tiap perayaan Valentine‘s Day diikuti peningkatan kasus HIV/AIDS. Padahal tingkat kegagalan kondom mencapai 33,3 persen,” imbuh dr. Andik.
Bagaimana di dalam negeri? dr Andik menuturkan, tiga tahun lalu ia diundang sebuah hotel berbintang di Surabaya menghadiri pesta Valentine‘s. Bonusnya undangan boleh check in sehari bersama pasangannya dengan jaminan tak dicek identitasnya (suami istri atau bukan). (www.beritakesehatan.com, Rabu, 14/02/2001). Fenomena sex on valentine dikuatkan juga saat seorang penulis, menjelang Valentine’s Day tahun 2004, pernah melakukan survei terhadap remaja pinggiran Kota Bandung seperti Cimahi, Batujajar, Padalarang, dan Lembang. Dibantu Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) penulis menyebarkan 500 angket ke siswa siswi tingkat SMA di daerah tersebut. Hasilnya? Mengejutkan!
Dari 413 responden yang menjawab angket secara “sah” 26,4% di antaranya mengaku lebih suka merayakan Valentine bersama gebetan atau kekasih dengan jalan-jalan, makan-makan lalu berciuman (melakukan seks). (Lihat, Samsul Ma’arif, “Valentine Day Bukan Budaya Kita, Tapi …”Pikiran Rakyat, 12 Februari 2005). Bahkan lembaga sosial Family Health International (FHI) Jabar yang berkedudukan di Kota Bandung, mempublikasikan hasil riset dan surveinya tentang perilaku seks remaja Kota Bandung. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa 54% remaja Kota Bandung pernah berhubungan seks! (Kompas, 25 Januari 2006). Bahkan, persentasenya paling tinggi dibandingkan kota-kota besar lain, seperti Jakarta (51%), Medan (52%) dan Surabaya (47%).
Prihatin juga ya, ternyata gaya hidup permissif alias serba boleh dalam berbuat kian banyak menjerat temen-temen kita. Terutama dalam urusan ekspresi cinta mereka pada pujaan hatinya. Katanya cinta suci, ternyata cuma cinta birahi. Ini gaswat sobat. Kalo tetep dibiarin, gaya hidup sekuler ini bisa menyeret remaja pada kehidupan yang menuhankan hawa nafsu. Kalo itu terjadi, kehidupan kita nggak jauh bedanya dengan marga satwa. Nggak lah yauw! Amit-amit banget deh.

Hati-hati tertipu…
Sobat, karakter remaja yang doyan having fun gampang dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk menjerat remaja muslim dalam gaya hidup hedonis demi meraih keuntungan yang bombastis. Remaja muslim digiring agar aktif merayakan hari kasih sayang. Padahal jelas-jelas VD adalah budaya Barat yang harus kita hindari bukan malah kita ikuti.
Seperti kebiasaan mengirim kartu Valentine disertai ucapan “Be My Valentine?”. Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan bahwa kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, kalo kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa” dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Syirik tuh!
Kamu juga kudu tahu kalo Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!
So, nggak usah minder untuk ngakuin VD yang pastinya bukan budaya Islam. Kalo kita tetep ngotot ikut ngerayain, bisa-bisa kita bakal termasuk golongan orang-orang kafir yang menjadikan VD sebagai salah satu hari besar agamanya. Seperti diingatkan Rasul saw dalam sabdanya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk salah seorang dari mereka.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan ath-ThabranĂ®)

Sempurnakan cinta kita
Sobat, VD sebagai simbol ekspresi cinta telah menyeret para aktivisnya keliru memaknai hakikat cinta. Gaya hidup permissif seperti terlihat dalam perayaan VD selalu memandang baik apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya dan menjadikannya sebagai jalan hidup. Kondisi ini sama dengan menyekutukan Allah Swt. dengan menuhankan hawa nafsu. Seperti disebutkan Allah swt dalam firman-Nya:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). (QS al-Furqaan [25]: 43-44)
Kalo kita nggak mau disamain dengan ayam, kambing, atau sapi seperti ayat di atas, maka berperilakulah layaknya manusia. Allah Swt. udah ngasih kita akal agar bisa bedain perilaku yang diridhoin Allah ama yang nggak. Jangan mau diperbudak hawa nafsu dan ngikutin perasaan aja. Kita ini lebih mulia dibanding hewan sobat.

So, untuk nunjukkin kasih sayang, nggak mesti saat VD. Kapan aja boleh kok. Yang terpenting dan pokok adalah ekspresikan cinta-kasih-sayang sesuai ajaran Islam yang mulia dan masuk akal. Bukan ajaran lain yang justru merendahkan derajat kita. Maka, kalo pengen selamat dunia-akhirat: cintai Islam dan pake aturan Islam dalam keseharian kita. Biar mantep cintanya, kuatkan dengan ikut pembinaan dan pengkajian Islam. Biar kokoh dan utuh dalam membentuk kerangka berpikir, maka pembinaan itu harus dilakukan intensif dan rutin. Jangan setengah-setengah. Kini, saatnya kita bareng-bareng mengkaji Islam untuk sempurnakan rasa cinta kita! [hafidz341: hafidz341@telkom.net]