Selasa, 24 Mei 2011

Surat Al - Fatihah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾

(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾
(2) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾
(3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾
(4) Yang menguasai hari pembalasan

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾
(5) Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾
(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
(7) (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (orang-orang yang mengetahui kebenaran dan meninggalkannya), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena ketidaktahuan dan kejahilan).

Senin, 28 Februari 2011

( NOVMOT) Novel Motivasi

“ Door … !!!” Kaget adiku, Re.
Aku melotot sedikit untuknya. “Pakai salam dong, Re…! Kebiasaan deh kamu, mba kan kaget.”
He…he…he …, lupa” Cengirnya. “ Mama mana mbak? Dah tidur , ya ? Aku mengangguk, “He em, tadi mama sempat tanya, Re kemana saja malam begini belum pulang”.
“Trus, mbak bilang apa ?”
“Mbak bilang, …. Eh, kamu dapet sepatu roda lagi ya ?, Dan ini piala …. Hayoo ! Kamu bertanding lagi …?” Kucubit pantatnya, Ia berlari “Syut …. Jangan bilang Mama ya …” Teriaknya sambil masuk kamar.
“ Re … Re … Dasar anak bandel “ Gumamku sambil tersenyum melihat kegesitannya.

“Pagi mbak …!” Sapa Re, sejuk seperti taman ini.
“Wa’alaikumussalam,” Ku tutup Riyadhushsholihinnya An- Nawawi yang sedang kubaca. “Ada apa, Re?” Ku lirik sikutnya yang berwarna merah. “Re, tidak pakai pelindung, sehingga harus terluka begini ? Kalau ketahuan mama gimana ?” Tanyaku. Re, nyengir kuda. “ Ya gitu deh …!, Mbak jangan bilang mama, ya …! Nanti pasti Re, diomelin. Trus Re gak boleh main sepatu roda lagi”
Aku tersenyum,. “Ya sudah, sekarang ambil betadin di kotak obat !” Dengan secepat kilat, Re berdiri. Aku tahu, sapaan paginya yang manis tadi, ada udang dibalik batunya (tolong obati lukkaku, ya …). Seperti itu kira- kira.

Areika Yahya. Yah … itulah nama pilihan Papa dan Mama 18 tahun yang lalu. Dialah adikku yang paling- paling. Paling tomboy, paling heboh, dan paling smart di sekolahnya. Re, tidak suka berpenampilan layaknya ABG sebayanya. Ia lebih memilih tampil dengan rambut Nike Ardilanya yang selalu dikuncir, kaos oblong yang distelkan dengan celana jeans belel yang super metal, sehingga sekilas terlihat rada sangar. Dibalik itu semua, Re selalu Juara di kelas setiap tahunnya. Ia juga bisa menjadi anak yang lucu. Pernah suatu hari ku jumpai ia di sebuah Puskesmas dekat tempat aku kursus Bahasa Arab. “Re kenapa disini? Kamu sakit ?” seperti biasa, Re hanya nyengir kuda. “Eh … sehat kok, nih lihat gak pa-pa kan ? Tuh … tuh …” sembari memperlihatkan lengannya bak Ade Ray.
“Tapi kok pipimu bonyok begitu ?” Ku sentuh pipi lebamnya. “Adawww … , pelan- pelan dong Mbak, sakit tau !” Kami berdua duduk. “Kamu berantam lagi ya, Re ? Kamu itu perempuan, Re … kenapa hobi banget sih sama berantem ?” Tanyaku agak tinggi.
“Iya deh maaf, Re kan gak sengaja, Mbak. “
“Kenapa sih, Re berantam terus ? Re kan harus …..”
“Iya, iya … Re, harus sabar. Tapi kan dia yang salah duluan Mbak. Preman ojek itu yang godain temen Re, terus …”
“Trus, kamu apain ? Kok jagoan mbak kena tonjok Preman ?”
“Ya… iyalah, jagoan itu dimana- mana kalah duluan.Re, kena tonjok deh, he … he …” Ia menggaruk kepalanya, yang Aku yakin tidak gatal.
“Lho kok, malah tertawa ?”
“Bagaimana tidak tertawa, lha wong Premannya nonjok sekali, tapi aku bales berkali- kali, sampe babak belur lagi, Mbak. Belum tau dia kalau berhadapan dengan Re si jago karate.”
“Astaghfirullah, Re … !!! Tega banget sih. Trus, Premannya bagaimana ?
“Dia, Aku bawa ke Puskesmas ini, trus kita sekarang jadi temenan deh. He … he …. “
Kontan Aku terdiam tanpa ekspresi, mendengar jawabannya itu. Lalu ku jewer kupingnya …. Dan “Pulang !!!”
Begitulah Re, rada konyol, keras kepala, tapi ternyata masih bisa bertanggung jawab juga. Semua orang rumah menghawatirkannya dan berharap suatu hari nanti ia dapat berubah menjadi lebih baik lagi. Namun setiap kali pertanyaan “Kapan mau berubahnya, Re … ?” dilontarkan kepadanya, dengan datar Re, selalu menjawab “One day … “ .


Tok …tok … tok …
“Wa’alaikumussalam. Masuk Re …” Ku tutup Tafsir Ibnu Katsir yang baru saja ku baca beberapa halaman.
“Baca apa, Mbak ?”
Aku tersenyum. “Wah … tumben, Re perhatian dengan apa yang Mbak baca, biasanya cuek aja”
“He … he … he …”
“Ada apa, Re ? “ Tanyaku sambil mengelus rambut Nike-nya.
“Re, pengen Tanya boleh gak ?’ Aku mengangguk pelan.
“Em … menurut Mbak Re cantik tidak ?”
“Wuu … “ Teriakku sambil menghadiahkan bantal ke mukanya.
“Adaww …! Tunggu, bukan itu sebenarnya. Re mau tanya, mama dah pergi belum ? mau maen nih ke Trowongan, kan bahaya kalau mama masih ada, pasti nggak boleh maen deh.” Sungutnya sambil cemberut.
Aku mendesah pelan. “Kenapa sih Re belum berubah juga? apa …. Apa Re mau, hidup Re jadi berantakan ? Apa Re mau masa depannya jadi suram? Apa Re mau begini terus? ….”
“Duh, Re bosen deh diceramahin, Re bosen … bosen …. Bosen …!!! BRAAK …..!!! Teriaknya meledak, sambil pergi membanting daun pintu kamarku.
Di kejauhan terdengar suara mama memanggil, “Jangan maen sepatu roda lagi, Re …!”

****
“Pa, ini sudah malam, Re belum pulang juga” Suara Mama terlihat cemas.
“Sabar ma, Re kan jagoan. Nggak bakalan kenapa- napa deh !” Teriak Mas Eko dari Dapur.
“Tapi ini jam 11 malam, Ko… Mama takut terjadi sesuatu dengan Re. Duh, nak kamu dimana sih?” suara Mama begitu cemas. Aku masuk kamar, kebetulan aku sudah mengantuk. Kurebahkan tubuhku di kasur. “Ya Allah, Re kemana sih kamu ?” pikirku. beberapa hari yang lalu, Mas Eko juga pernah bertengkar dengan re, gara- gara Mas Eko ingin Re pakai rok, supaya tidak terkesan maskulin. Wal hasil, Re ngambek dan tidak mau bertegur sapa sampai tiga hari. Mamapun ikut marahin Mas Eko. Dan kini, nasib Mas Eko menimpaku juga.
“Door …..!
“Astaghfirullah, Re … kamu sudah pulang?” Tanyaku sambil tercengang melihat kehadirannya dengan tubuh penuh luka lagi. Ia menatapku lekat- lekat.
“Memangnya Re bandel ya Mbak?” Aku tersenyum. “Iya ….” Jawabku.
“Maafin Re, ya. Mbak Tia jadi di marahin Mama.”
“Kalo anak bandel masuk neraka dong Mbak?” Tanya Re dengan polosnya.
“Makanya berubah dong Re. Manfaatkan waktumu, nanti insya Allah kamu masuk Surga, bukan neraka.” Kataku mantap.
“Surga … seperti apa sih, Mbak?”
“Ya, menyenangkan. Kita bisa minta apapun disana.”
“Beneran tuh? Kalo Re minta sepatu roda ada ‘nggak ?”
Ku acak- acak rambutnya yang berkeringat. “Wuuu … maunya, …. Tapi insya Allah ada-lah. Udah deh, Re mandi dulu sana ! Bau sekali, belum mandi ya ?”
“Enak saja bau, … harum tau, harum kemenangan. Nih lihat, dapet sepatu roda lagi.” Sambil beranjak pergi menjauhiku.
“Eh, Re tunggu ! Em … kapan mau berubahnya ?” Tanyaku dengan sangat hati- hati.
“Em … Kapan- kapan deh. One Day, Mbak ….” Teriaknya di kejauhan.
“Amiin ….” Doaku dalam hati. Ia selalu bilang “One Day – One Day.” Kapan, ya ?

***
Pagi- pagi kami sarapan. Semua keluarga berkumpul, ya … kita ada rapat keluarga.
“Kalo Re masih juara satu di sekolah, Mas Eko janji bakalan beliin sepatu roda buat Re, tapi Re harus berubah.” Re cuma mesam- mesem .
“Iya, Papa bakalan beliin Re HP baru, kalo Re mau berubah jadi anak manis.” Rayu Papa.
“Kalo Mama, ….”
“Mama pengen Re jadi baik juga ?” Potong Re.
“Maksud Mama begini Re, kita semua ingin kamu tau bahwa Mama, Papa, Mas Eko, Mbak Tia, dan Bi Inah sayang sama kamu.”
Re menggaruk- garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Duh Mama, Re juga sayang sama kalian semua, tapi memangnya salah kalau aku juga sayang sama sepatu rodaku?” Jawabnya polos. Kami tersedak jadinya. Sungguh jawaban yang aneh bin lucu.
“Re boleh sayang sama sesuatu tapi jangan berlebihan. Kita hanya ingin Re berubah, dari mulai penampilan, cara Re memandang hidup, dan lepas dari pola hidup yang menyia- nyiakan waktu.” Tandasku. Re terdiam. Mudah- mudahan ia bisa menangkap kata- kataku.
“Iya deh …” akhirnya Re mengalah. Kami lega, akhirnya Re sepakat untuk berubah. Setidaknya kesan itu tertangkap dari ucapannya.
“Eh, tapi ……..” Sambungnya.
“Tapi apa, Re ?” Jawab kami kompak.
“Tapi berubahnya nanti ya. One day-lah.” Putusnya sembari pergi. “Daa…da … semuanya. “
Huuh …Keputusannya menjadi mentah kembali. “One day.” Selalu itu jawabannya. Ia memang tidak pernah mau peduli dan selalu cuek terhadap orang lain. Pernah ku ajak baksos di Kemayoran, Dia tidak mau.
“Maaf deh Mbak, lain kali aja. Re sedang tidak mood untuk begituan. Kalo Mbak mau, ambil saja baju- baju Re di lemari, ya … Pilih yang mana, terserah …”
“Duh Mbak, Re ada perlombaan, sorry yah ! Tuh di amplop ada uang hadiah lomba, bawa saja, yah …!”
“Kenapa sih Re, kamu tidak punya empati sedikitpun terhadap orang lain … ?” Teriakku dalam hati, melihat ulahnya yang selalu menolak ajakanku untuk baksos.

***
Kututup rapat- rapat buku Benalu Di Tubuh Sunnah-nya DR. ‘Aidh Al- Qorni. Minggu depan aku ke- Madinah, Re bagaimana ya ? Dia belum mau berubah. Sekarang Ia semakin menjadi- jadi. Berangkat pagi pulang malam. Tapi Ia terlihat agak kalem akhir- akhir ini. Sepertinya Re, juga jarang berantem lagi, buktinya Dia jarang minta diobati lukanya lagi. Tapi tingkahnya agak aneh akhir- akhir ini. Setiap berangkat Ia selalu membawa ransel yang besar dan di isi penuh oleh makanan. Kenapa ya …?” Terkadang Mama juga sering bertanya melihat Re, bawa makanan sebanyak itu.
“Kamu mau kemana, Re ? Mau camping ya ?” Tanya Mas Eko. “Ikut dong.”
“Kamu mau menginap di rumah teman, ya ? jangan lupa bawa HP, ya ?” Tanya papa.
“Kamu mau kemana, Re ? Cepet pulang ya sayang.”
“Nggak, Re Cuma mau main.” Pasti jawabannya seperti itu. Aku tau pasti ada yang disembunyikannya. Aku merasa ada yang aneh dengan adikku. Pernah kutanya suatu hari “Memangnya kenapa sih, Re main ko bawa banyak makanan ?” Takut kelaparan ya, Non?” Tapi lagi- lagi Dia tetap cuek. Semakin membuat orang penasaran saja.

***
Kini adikku tidak tomboy lagi, Ia sudah mulai memakai rok, kontan orang serumah gempar. Hebohnya lagi Re pernah menyatakan padaku Ia ingin berjilbab. Betapa senang hati kami, walau sekedar pernyataan saja sih. Tapi ku berharap ini adalah langkah awal menuju perubahan hidupnya.
“Serius nih, Re ?” Tanyaku tak percaya ketika Ia ingin berjilbab.
“He eh …” Jawabnya serius.
“Kapan itu Re, ?”
“He …he … he … One day, kalau sekarang belum siap. Tunggu tangal mainnya. Sini gamisnya !” Sambil meraih gamis biru yang berada ditanganku.
Sadarkah kau Re, betapa kami amat menyayangimu. Mama yang selalu membelaimu dikala kau menangis, Papa yang selalu menanyakan kabarmu, melalui HP, Mas Eko yang setia memijatmu ketika keseleo sehabis bertanding, dan Aku yang selalu mengobati luka- luka lecet di sekujur tubuhmu, akibat jatuh dari pertandingan- pertandinganmu.
***
Pagi ini terlihat mendung, mentari enggan muncul.
“Re kemana, Ma ?” Tanyaku pada Mama.
“Tadi Re berangkat pagi sekali, mama tidak tau ada apa. Bawa makanannya banyak lagi.”
“ Oo ….. “
“Tapi, masa Re pakai jilbab ya? Ah mungkin mau ke-pengajian kali,. Ya?”
Aku tersenyum. “Inikah One Day itu, Re?’ Gumamku.
“Kita do’akan saja semoga hari ini adalah One Day yang di janjikan Re ya, Ma” Ungkapku.
“Iya, Amiin. Kamu jadi pesen tiket ke Madinahnya ?”
“Insya Allah, nih baru mau berangkat. Assalamu’alaikum !”

Dalam Perjalanan …..
Degg …!Astaghfirullah … !!! kenapa Aku jadi teringat dengan Re. “Mbak, kalo jadi ke Madinah, beliin sepatu roda buat Re, ya ! Pengen tau seperti apa sepatu rodanya orang sana.” Pinta Re, suatu hari. Aku tersenyum. “Re aneh, ih …” Pinta itu terngiang kembali, dalam hatiku, kuat sekali sepertinya Aku ingin ketemu Re. Apa karena aku belum pamitan padanya. Batinku berdialog sendiri.
Dug … dug … dug …dug ….dug …jantungku semakin berdetak kencang. Darahku berdeseir hebat, ngilu rasanya. Posisi dudukku coba dirapikan, tapi mengapa hatiku tetap gelisah. Keringatku mengucur hebat.
“Pak Bajay, jangan ngebut- ngebut ya … saya sedang tidak enak badan. Pelan- pelan saja jalannya.”
“Iya, Bu. Disini juga jalannya macet. Ada tabrakan kayaknya.”
“Apa … ? Innalillahi ….” Kulihat jalanan begitu ramai, aku turun dari bajay. Darahku kembali berdesir. Kudekati kerumunan orang- orang itu. Keringatku tambah mengucur. “ Ya Allah, siapa gadis itu? Darah mengalir segar pada wajah dan beberapa bagian tubuh gadis itu. Namun senyum gadis itu aku mengenalnya. Penasaran, aku coba menelusup diantara bahu orang- orang itu. Kakiku lemas dan berat. Jantungku serasa berhenti. Jilbab itu …, darah itu …, roda itu …, makanan- makanan itu …. Apel itu …..
Nyawaku seperti terbang satu persatu. “Reeee ……… !!!” Teriakku keras. Tiba- tiba kepalaku pusing, dunia seperti berputar. Masih sempat ku ingat suara seseorang “ Oo …oo.., ini sih Non Reika, Non yang baik hati itu. Dia suka kasih makanan sama orang- orang miskin dibawah jembatan … kasihan ye, meninggal disrempet truk.” Setelah itu aku tak ingat apa- apa lagi. GELAP !!!
*****

Epilog
Kududuk di pinggir kasur sebuah kamar. Kutatap Foto Re dengan rambut Nike-nya. Dengan senyum kemenangan ia mengangkat sepatu rodanya. Hari itu ia menang dalam perlombaan sepatu rodanya.
Kamar ini terasa sendu, namun masih terlihat rapi. Lemari bajunya, lemari pialanya, dan deretan sepatu rodanya. Air mataku menitik. Aku menagis, benar- benar menangis.
“Re, sedang apa kamu?” sayup- sayup masih terasa ku dengar gurauannya di sini.
“Eh, Mbak kalau anak solehah itu masuk surga, ya ?”
“Iya …” Jawabku.
“Di surga ada sepatu roda, nggak? Nanti Re ajarin Mbak, cara mainnya. Disini kan Re sibuk, gak bisa ajarin Mbak.”
Tangisku semakin kencang. Kini suara itu tiada lagi, suara Re yang kami sayangi. Kupeluk fotonya erat- erat. Suara itu pelan- pelan menghilang
“Mbak, kalo ke Madinah belikan sepatu roda buat Re, ya !” Pelan lirih suara itu menghilang.
“Trus preman itu jadi teman Re, deh. He … he .. he …”
Sayup- sayup kudengar alunan musik dari radio disamping rumah dengan lagu One Day-nya Mickel Jackson mengalun merdu.

“One Day in your life …….”
Kuhapus air mataku. Mbak akan selalu mengenangmu. Kau-lah gadis dermawan itu Re.
“ Cek-klek ….” Kututup pintu kamar Re rapat- rapat. Do’a Mbak akan selalu bersamamu Re … semoga One Day, kita berkumpul di surga. “ Ajari Mbak sepatu roda, ya !”

****

Oleh :
Nama : Dwi Setyawati
TTL : Jakarta, 13 Juli 1986
Pekerjaan : Mahasiswi & Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Cempaka Indah No. 19 Kel. Harapaan Mulia
Kec. Kemayoran – Jakarta Pusat
Telp. : 081382862590

Rabu, 12 Januari 2011

Sebuah Kesombongan

Terkadang kita sering mengabaikan akan diri kita sendiri, tanpa memperhatikan apakah ia membutuhkan istirahat, pemanjaan diri, atau yang lainya. kita lupa bahwa tubuh ini juga memiliki hak untuk dimanjakan, dilayani, diistirahatkan dll. tapi terkadang bukan juga karena kita memaksakan diri, namun karena dealine yang menghendaki sehingga kita sering melupakan batas diri kita.

Indikator bahwa tubuh membutuhkan istirahat, pemanjaan dll, biasanya muncul dengan sendirinya, namun acapkali kita dengan sombongny mengabaikan akn hal tersebut. Kita malah dengan sombongnya dan seolah tak merasa kasihan kepadanya terus memaksanya bekerja dan terus bekerja.

Indikator berikutnya muncul kembali, kali ini ia benar- benar membutuhkan akan istirahat. Namun skali lagi trus kita sering mencoba memaksanya, sampai pada suatu saat kit benar- benar tidak bisa lagi memaksa tubuh ini untuk ikut bekerja bersma kita lagi alias ambruk.

Sebuah kesombongan jika kita mengabaikan akan isyarat- isyarat tubuh, ketika ia meminta untuk rehat sejenak sekedar menenggak seteguk air, atau menghela nafas sejenak saja. karena bearti kita telah merampas akan hak tubuh kita yaitu hak untuk istirahat.

kita baru merasakan kerugian bsar manakala ia si tubuh benar- benar mogok tidak mau lagi diajak bekerja, barulah kita menyadari betapa bersalahnya kita telah memporsir si tubuh dalam segudang aktivitas kita. barulah kita mencari- cari sebab, memberikan obat, dll. sementara si tubuh tidak bisa seketika itu saja kembali kepada kesehatannya seperti sediakala.

Terima kasih Tipes Januai 2011, aku belajar banyak dari kamu tahun ini. Terima kasih Yaa Allah KAU ingatkan aku dengan mahkluk-MU yang satu ini ..... periharalah Aku agar selalu istiqomah dalam Agamamu. amiiin